AWAN GELAP PERTHIA
Oleh Amellya Hidayat
Asap tebal membumbung ke udara, suara ledakan dan jeritan terdengar dimana-mana. Malam itu, pusat kota yang indah berubah dalam sekejap menjadi neraka. Mayat-mayat bergelimpangan, darah berceceran, tangisan pun turut memecahkan keheningan malam. Dalam teror yang luar biasa, seorang anak terduduk diam. Pandangannya kosong, lututnya kaku. Ketakutan tercipta dalam dirinya ketika dia menyaksikan pembantaian besar-besaran terjadi di depan matanya.
Saat kehampaan melanda, seseorang telah bersiap menembakan anak panah padanya. Seketika itu, aku mendorongnya hingga terjatuh. Untuk sejauh ini, kami masih bisa lolos dari maut. Tapi aku tidak boleh lengah. Sesuatu yang lebih buruk mungkin saja dapat terjadi kemudian. Aku meraih tangannya dan bergegas berlari meninggalkan tempat itu. Kami bersembunyi di balik reruntuhan bangunan tua.
Napas kami tersenggal-senggal. Badan pun terasa tak bertenaga. Nampaknya kelelahan telah mencapai puncak. Aku menoleh kepada gadis itu. Dia menangis tiada henti. Tangannya berkeringat dingin. Lututnya bergemetar hebat, menandakan bahwa dia sangatlah ketakutan. Aku menarik tangannya dan memeluknya erat.
“Tenanglah, Almaz... Tidak akan terjadi apa-apa. Selama kakak disini, kamu akan baik-baik saja...” bisikku padanya. Dia mengangguk patuh. Perlahan tangisnya berhenti. Detak jantungnya kembali normal. Dia jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Terima kasih, Kakak...” ucapnya sambil tersenyum. Senyumannya menenangkan kalbu. Sayang, ketenangan kami tidak berlangsung lama. Salah seorang prajurit musuh mengetahui keberadaan kami. Dia dan prajurit lainnya berusaha untuk menangkap kami. Kami melarikan diri dengan tenaga yang tersisa.
Sial, langkah kami terhenti. Mereka berhasil mencegat kami. Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kami sudah terkepung, tidak dapat mengelak. Mengapa Dewi Fortuna semakin menjauh dari kami? Seandainya bahuku tidak terluka dan tangan kananku masih ada, aku pasti dapat dengan mudah membunuh mereka. Tidak, tidak. Aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Aku harus bersikap tenang. Ya, berpikirlah jernih. Pasti ada jalan keluar. Aku pasti bisa menyelamatkan Almaz. Tapi bagaimana caranya?
Kami melangkah mundur, berharap dapat menghindar dari mereka. Lalu aku menginjak sebuah pipa besi dan jatuh terpeleset. Aku merintih kesakitan. Dalam hati, aku menyumpahi benda berkarat itu. Tunggu sebentar...Pipa besi? Akal picikku mengelana liar. Diam-diam aku meraih pipa besi itu.
Salah seorang prajurit mendekatiku. Sangat dekat hingga menyisakan jarak satu jengkal saja. Tanpa ragu aku menusukkan pipa besi tepat ke jantungnya. Dia berteriak kesakitan serta mengeluarkan darah yang tak sedikit. Pasukan musuh sangat murka melihat rekannya, yang juga adalah pemimpinnya, tewas mengenaskan di tangan buronan cilik ini. Kami bergegas melarikan diri secepat yang kami bisa. Mereka mengejar dengan membabi buta.
Syukurlah kami dapat lolos. Aku tersenyum kecil dan mengacak-acak rambut Almaz sebagai bentuk perayaan kemenangan untuk sementara waktu. Senyumku membeku saat sebuah anak panah menghujam tubuhku. Darah segar mengalir deras. Almaz berdiri mematung tepat di depanku.
Aku berusaha mendekatinya. Namun apa daya, aku malah jatuh tersungkur. Adik kecilku diseret oleh pihak musuh secara biadab. Aku ingin menolongnya, tapi aku tak mampu. Sayup-sayup terdengar suara teriakan Almaz. Dia memohon ampun kepada musuh dan meminta mereka menyelamatkanku. Kemudian dia berteriak memanggilku. Berharap aku bangkit untuk menyusulnya.
“Almaz...Tolong bertahanlah hidup....” ucapku lirih. Aku merasa benar-benar lemah. Bahkan untuk bangkit pun aku tak mampu. Pandanganku mulai kabur. Meredup. Meredup. Dan...gelap....
Kuda putih ini melaju dengan kecepatan yang mengagumkan. Aku harus bergegas menyerahkan tangkapan yang kudapat. Aku tidak mau kalah lagi dengan kakak. Sudah sembilan puluh sembilan kali aku bertanding dengannya. Lalu, berapa kali aku berhasil memperoleh kemenangan? Jawabannya adalah...Nihil. Aku tidak pernah sekali pun menang darinya. Di pertandingan yang ke-100 ini, aku ingin mematahkan rekor memalukan itu. Karena itu, aku harus berjuang sekuat tenaga.
Yahuuuu!!! Aku berhasil keluar dari hutan dan memasuki gerbang istana. Semua prajurit menyambutku dengan sukacita. Kemenangan sudah mutlak di tangan. Dengan bangganya, aku mengangkat hasil buruanku, seekor anak kijang berukuran sedang. Namun, tanganku segera terkulai lemas ketika melihat seorang pemuda berdiri di tengah kerumunan pejabat kerajaan. Dan lihatlah apa yang dibawanya...seekor Zebra berukuran besar. Kakak lagi-lagi berhasil mendahuluiku dan memperoleh buruan yang fantastis. Wajahku berubah suram. Bahkan setelah 100 kali kami bertanding, aku tetap tidak bisa melampauinya. Jangankan melampaui, menyamai kemampuannya saja aku tak mampu.
Kakak memang seorang pemuda jenius. Dia mampu menguasai banyak hal dalam waktu singkat. Belajar, berkuda, berburu, memanah, dan bela diri seakan menjadi kudapan sehari-hari untuknya. Bukan hanya itu, dia juga sangat pandai dalam strategi perang, ilmu politik, pemerintahan, ekonomi, dan ilmu sosial. Tak heran Ayah selalu meminta sarannya dalam setiap kesempatan. Pembawaannya yang tenang, ramah, dan hangat membuat dia dielu-elukan oleh semua orang. Termasuk aku.
Aku memang menganggapnya sebagai rival. Ya walaupun sebenarnya aku belum layak untuk itu. Tapi di sisi lain aku sangat mengaguminya. Suatu saat nanti aku ingin sehebat dirinya. Aku ingin memiliki kharisma sepertinya. Kharisma seorang putra mahkota Perthia yang agung.
“Selamat ya! Lagi-lagi kau berhasil mengalahkanku...” ucapku ketus sambil mengulurkan tangan. Aku sengaja membuang muka karena tidak ingin dia membaca kekecewaan di wajahku. Kakak menjabat tanganku. Dia mengacak-acak rambutku sambil tertawa puas. Aku berontak. Tidak terima diperlakukan seperti anak kecil. Kakak memang lebih tua empat tahun dariku. Tapi bukan berarti dia berhak memperlakukanku seperti itu.
“Kau itu hebat, bocah kecil. Suatu hari nanti, kau pasti berhasil melampauiku. Karena kau itu adalah adikku, Arthur...” ucapnya tersenyum. Seketika itu darahku bergejolak. Jantung ini berdetak cepat layaknya pacuan kuda. Ucapannya sukses membakar semangatku. Diakui oleh orang sehebat dia membuatku ingin terbang menembus angkasa.
“Kalian sudah berjuang keras. Kalian hebat!” suara riang itu datang menghampiri kami. Pemilik melodi indah itu membawakan segelas air. Dengan segera, aku merebutnya dan menegak air tersebut sekaligus. Segar sekali. Rasanya lelah telah menyingkir dari tubuh. Gadis itu tertawa melihat sikapku. Keceriaannya membuatku tersenyum. Dia memang selalu muncul pada saat yang tepat. Tiba-tiba hadir untuk menenangkan hati yang memanas. Itulah Almaz, putri bungsu kerajaan Perthia. Tawa riangnya merupakan kebahagian bagi seluruh negeri.
“Melihat kehebatan Kakak yang sekarang, aku yakin Kak Arthur akan lulus dengan mudah dalam ujian besok...”
Aku langsung tersedak mendengar dukungan Almaz. Ucapannya itu mengingatkanku pada ujian sekolah kerajaan yang harus kulalui esok. Ujian yang sangat panjang dan melelahkan karena dilakukan dalam beberapa tahap dan berlaku sistem gugur. Selama seminggu ke depan aku akan menghilang dari istana. Berjuang di dalam hutan belantara untuk melalui berbagai tantangan yang diberikan. Termasuk adu duel dengan pemuda bangsawan lainnya. Yang dapat bertahan sampai akhir, dialah yang akan lulus dalam ujian.
Kelulusan dalam ujian ini merupakan gerbang awal karirku dalam kemiliteran. Itu berarti aku dapat bersaing secara adil dengan Kakak dalam memperebutkan posisi sebagai panglima kerajaan. Apapun akan kulakukan untuk dapat mengejar kehebatannya.
Aku merebahkan diri dalam kereta kuda. Melepaskan segenap rasa lelah yang menghantui selama lima hari ini. Tak kusangka ujian ini dapat dilalui dengan mudah dan relatif cepat. Semua orang takjub dengan kecerdasan dan kemampuanku. Mungkin kemampuanku meningkat tajam karena aku selalu berlatih dengan orang yang sangat hebat. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan mereka berdua. Aku ingin mengumumkan kepada mereka tentang keberhasilan mutlak ini.
Lamunanku terkoyak saat pasukan kecil yang mengawalku berhenti mendadak. Aku segera turun dari kereta untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Mataku terbelalak ketika menyaksikan ibu kota Perthia, Loxur, berubah menjadi lautan api. Suara pedang yang beradu dan dentuman bola api terdengar begitu nyaring. Kilatan pedang dapat terlihat jelas di tengah kegelapan malam. Aku bergegas merebut kuda prajuritku dan melaju kencang menuju istana. Apapun yang terjadi, aku harus menghentikan semua ini.
Aku merangsek masuk ke dalam barikade pasukan musuh. Satu per satu tubuh musuh kutebas tanpa ampun. Dengan bermandikan peluh, aku berhasil mendekat ke gerbang istana. Sayang, kudaku terkena panah musuh sehingga aku terpelanting jauh. Bahuku terbentur sangat keras. Sakit sekali. Aku meremas bahuku dan berusaha untuk bangkit. Namun kelengahan dalam beberapa detik berhasil dimanfaatkan musuh. Salah seorang prajurit mengayunkan pedangnya dan nyaris membelah tubuhku. Beruntung Jenderal Zeldyck berhasil menyelamatkanku. Dia membunuhnya dalam satu kali tebasan. Aku mengambil pedangku dan menghampirinya.
“Zeldyck, apa yang sebenarnya terjadi?!” tanyaku sambil menumpas kawanan musuh.
“Kerajaan Althovia melakukan penyerangan mendadak. Mereka berhasil merebut benteng Ebydos dan menghancurkan seisi kota. Semua pasukan dikerahkan untuk mengatasi mereka. Namun ini semua ternyata hanya jebakan musuh. Serangan di benteng hanyalah sebagai pengalih perhatian. Sedangkan sasaran utamanya adalah Loxur. Mereka berhasil menguasai ibu kota. Sekarang mereka mengincar raja Zeroun dan berusaha menduduki istana Perthia...”
Penjelasan singkat Zeldyck cukup menggambarkan betapa gawatnya kondisi ini. Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah cepat untuk memasuki gerbang istana. Aku harus menyelamatkan semuanya. Kerajaan Perthia, ayah, ibu, dan Almaz. Jika mereka berada di dekat Kakak, aku yakin mereka akan baik-baik saja. Kehebatannya setara dengan 100 prajurit handal. Dalam kondisi apapun, dia akan dengan mudah mengalahkan ratusan pasukan musuh seorang diri.
Aku berlari menuju aula kerajaan. Berharap mereka berlindung di sana. Dengan terburu-buru, aku membuka pintu aula. Tepat di depan kedua mataku, seorang pemuda memenggal kepala raja Perthia, Zeroun. Kepala yang telah terpisah dari tubuhnya itu menggelinding menghampiriku.
Tak jauh dari tempat pemuda itu berdiri, tergeletak sesosok tubuh yang bersimbah darah. Almaz duduk bersimpuh di dekat mayat itu. Tubuhnya bergemetar dan tatapan matanya mencerminkan ketakutan besar.
“Ayah...Ibu....Ayah...Ibu....” ucapnya lirih sambil menangis.
Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang kusaksikan. Aku mengambil kepala di dekat kakiku. Aku meraba wajahnya dan memperhatikannya lekat-lekat. Ternyata benar, kepala ini adalah kepala ayah. Kepala yang telah dipenggal oleh seorang pemuda. Pemuda yang kukagumi dan sangat ingin kukalahkan. Dia adalah Aldrich, putra sulung raja Zeroun.
“Matilah kau, bedebaaaaaaah!!!!!” teriakku lantang sambil meraih pedang yang tergeletak.
Aku berlari menyerangnya. Entah mengapa kekuatanku menjadi berlipat ganda. Amarah bercampur kebencian menciptakan energi yang tak terkira. Ekspresi dinginnya membuat darahku mendidih. Tidak terlihat sedikit pun penyesalan dari gurat wajahnya. Hal itu membuatku semakin ingin membunuhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berhasil merobek pelipisnya. Cairan merah gelap mengalir perlahan di wajahnya.
Dia mundur beberapa langkah. Aku pikir dia akan lari dari pertempuran. Ternyata tidak. Dia bergerak sangat cepat. Nyaris tak terlihat. Dengan gerakan itu, dia berhasil mengecohku. Aku berusaha mengimbanginya. Pedang kami saling beradu hingga akhirnya senjataku terlepas dari genggaman. Dalam hitungan detik, pedang tajamnya memotong tangan kananku. Aku berteriak kesakitan.
Kemudian tendangan keras mendarat di dada. Disusul dengan pukulan mematikan di tengkuk dan wajah. Aku muntah darah, lalu terkapar tak berdaya. Aldrich bersiap melakukan serangan pamungkasnya. Mungkinkah ini adalah akhir dari hidupku? Akankah aku berakhir dengan kekalahan menyedihkan seperti ini? Aku menjerit dalam hati. Meneriaki kematian yang bersiap menjemput di hadapan.
Prang!!! Sebuah pedang menghalangi serangan Aldrich. Seseorang berhasil mendorongnya hingga terjatuh. Dia berdiri membelakangiku dan mencoba untuk melindungiku.
“Zeldyck!!!”
“Apakah Anda baik-baik saja, Tuan Muda?” tanyanya dalam kondisi waspada. Aku mengangguk pelan. Zeldyck mengisyaratkanku untuk berlari menyelamatkan Almaz. Sedangkan dia akan berusaha untuk menahan Aldrich sementara waktu. Namun aku menolak. Aku tidak mau lari dari pemberontak itu. Aku harus membunuhnya. Walau harus meregang nyawa sekalipun!
Aku berusaha bangkit dan menyerang bedebah itu dengan tangan kosong. Tapi, Zeldyck menahanku. Dia dan pasukannya berhasil menyelamatkan Almaz dan membawa kami keluar dari istana. Aldrich hanya diam. Tidak melawan ataupun menghentikan kami. Dia menatapku dingin dan membiarkan kami pergi begitu saja.
Zeldyck membawa kami dengan kuda. Dari kejauhan dapat terlihat jelas bendera kerajaan Perthia hangus menjadi abu. Kemudian berganti dengan bendera biru milik kerajaan Althovia. Air mata membasahi wajahku. Dalam hati aku memaki ketidakberdayaan ini. Membiarkan kerajaan Perthia jatuh ke tangan musuh dan menerima pengkhianatan dari seorang putra mahkota. Ditambah dengan kematian ayah dan ibu yang tak dapat kucegah. Aku merasa sangat tidak berguna.
Brukk!!! Almaz terjatuh dari kudanya. Dia tersungkur lemah. Di saat yang bersamaan pasukan musuh datang mengejar kami. Aku segera melepaskan cengkraman Zeldyck dan melompat dari kuda. Aku berlari secepat mungkin untuk menyelamatkannya. Namun kakiku tersandung sesuatu sehingga terjatuh. Aku menoleh ke belakang untuk mengetahui benda yang menghalangi jalanku. Ternyata benda itu adalah sebuah kepala manusia. Dan kepala itu adalah .......
Aaaaaaaaarghhhh!!!!!!!!!
Teriakanku memecah senyap. Napasku terengah-engah. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Peristiwa mengerikan itu menghantui tidurku. Aku benar-benar berharap memori itu hanyalah mimpi buruk. Sehingga ketika terbangun semuanya akan kembali seperti semula. Tetapi harapan itu hanyalah angan-angan kosong. Rasa nyeri di perut dan lenyapnya tangan kanan, nampaknya sudah cukup menjawab semua keraguan. Ya, mimpi buruk itu adalah realita. Aku berteriak memaki kehinaan diri. Keadaan ini membuatku ingin menghilang dari muka bumi.
“Anda sudah sadar, Tuan Muda!” kata Zeldyck sambil terburu-buru menghampiriku. Dia membantuku untuk duduk. Aku memperhatikan perubahan penampilannya. Dia menggunakan pakaian yang sangat sederhana layaknya rakyat jelata.
“Saya sangat bersyukur Anda baik-baik saja. Anda sudah tidak sadarkan diri selama lima hari....”
Lima hari? Berarti sudah lima hari berlalu sejak pemberontakan itu. Lalu apa yang terjadi dengan Perthia? Bagaimana pula dengan Almaz? Apakah dia berhasil selamat? Atau justru tewas di tangan musuh? Semua pertanyaan itu sontak menyerbu pikiranku. Aku tak dapat berpikir jernih. Kepingan peristiwa buruk semakin berserakan dalam benak.
Zeldyck seakan dapat membaca kekalutanku. Dia menjelaskan bahwa kerajaan Perthia saat ini sudah jatuh ke tangan musuh. Seluruh wilayah kerajaan telah dikuasai oleh Althovia. Bahkan para pejabat istana telah dibantai habis oleh mereka. Kemudian Aldrich sang putra mahkota Perthia diangkat menjadi panglima tertinggi kerajaan. Bukan panglima Perthia, melainkan panglima Althovia.
Rumit. Teka-teki ini semakin sulit untuk dipecahkan. Jika memang Aldrich menginginkan kekuasaan, untuk apa dia melakukan kudeta? Padahal dia adalah seorang putra mahkota yang jelas-jelas akan menjadi raja berikutnya. Tapi, dia malah menyerahkan kerajaan kepada Althovia, musuh abadi kami. Dia kehilangan haknya sebagai penerus raja dan hanya menjadi seorang panglima. Bukan hanya itu, dia tega membunuh orang tua kandungnya di depan adik-adiknya. Apa yang dia pikirkan? Dan apa yang sebenarnya dia inginkan? Entahlah. Aku tidak dapat mencerna apapun dari puzzle ini.
Yang jelas, aku tidak mau terus-menerus berada di dalam keterpurukan. Aku harus bangkit. Banyak hal yang harus dilakukan. Aku harus mencari dan menyelamatkan Almaz. Aku yakin dia masih hidup. Dia tidak akan mati dengan mudah.
Selain itu, aku memiliki tujuan baru dalam hidup. Tujuan agung yang tercipta dari kebencian, yaitu balas dendam. Mata dibayar mata, gigi dibayar gigi, nyawa dibayar nyawa. Aku bersumpah akan merebut kembali kerajaan Perthia dan membunuh panglima Althovia yang baru. Apapun yang terjadi, dia harus mati di tanganku!
aku dan seoonggok kaki
Oleh Muhamad Fakhrusy
“Kaki!” Ucapku ketika seorang laki-laki membuka pintu rumah itu. “Kaki!” Lanjutku.
Aku pun menghampirinya dan mengelus-eluskan bulu-bulu lebatku ke bagian bawah kakinya.
Lembut, rasanya seperti terbang menuju keindahan yang tak terhingga.
Namun, aku ditendang olehnya.
“Pergi! Apa-apaan sih kamu!” Teriaknya sambil menendangku dan menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya kepadaku. Matanya hitam, wajahnya mengerut.
Dasar sialan, aku hanya ingin kakimu. Ucapku dalam hati, aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati karena orang sial itu tak pernah mengerti bahasaku.
Dia pun berjalan ke arah taman dan aku pun mengikutinya. Lariku lebih cepat daripada jalannya yang begitu lambat seperti siput yang baru lahir.
Aku tertawa, namun ia tak mengerti bahwa suara yang baru saja aku keluarkan adalah suara tawaku untuknya.
Dia tak sadar aku telah berada tepat di depan kakinya yang terus melangkah.
“Aduh!” dia meringis, aku tertendang.
“Sialan! Pergi kamu! Hush! Hush!” teriaknya lagi padaku, aku tertunduk karena kaget dan takut.
Ya, aku takut. Ia begitu tinggi, begitu besar.
Sedangkan aku, walaupun kakiku dua kali lebih banyak dari kakinya. Tinggiku tak sampai melebihi kakinya yang begitu menjulang.
“Sialan kamu! Mentang-mentang badanku pendek tak seharusnya kamu terus-terusan menendangku! Aku hanya ingin mengelus-elus kakimu,” Aku berteriak sambil menghadapkan wajahku kepada tubuh besarnya.
Aku kesal, ya, aku kesal dengan semua tindakannya yang seperti meremehkanku.
Namun ia malah makin mengencangkan kerutannya dan tetap mengencangkan suaranya kepadaku. Ia tak tahu bahwa aku sangat marah.
“Laper? Mau makan? Sana cari sendiri! Dasar manja! Hush! Hush!” Ia mengibaskan tangannya, memberikan isyarat kepadaku untuk segera pergi.
Aku tak peduli, aku pun mendatangi kakinya untuk mengelus-eluskan badanku padanya.
“Kenikmatan ini, aduuh.” Aku terbuai dalam kenikmatan yang tak ada duanya. Semua ini terasa seperti mimpi, aku terbang menuju langit tanpa batas dan menghilang di bawah sayup-sayup sinar matahari yang mulai redup.
“Pergi!”
Dia menendangku, aku terseret cukup jauh. Dia pun berlari agar aku tak mengejarnya.
“Pergi kamu! Pergi sana! Hahahahaha!” Aku berteriak cukup keras namun tak ada yang menyadarinya, aku sadar itu. Untukku, hal itu bisa jadi sesuatu yang baik maupun sesuatu yang kurang mengenakkan.
Hal baiknya adalah tak akan ada satu pun orang yang sadar bahwa aku sedang menghina mereka. Setiap kali hardikan aku lontarkan kepada mereka, mereka justru malah mendatanginya dan mengelus-elus tubuhku dengan tangan-tangan baunya.
Cih, aku hanya ingin kaki-kaki kalian. Tangan kalian bau, tak suka aku.
Setiap kali mereka mengelus-elus tangannya kepadaku, aku menjilat-jilati bagian tubuhku yang tersentuh berharap agar bau mereka dapat cepat lenyap.
“Hahahaha!” Aku tertawa, aku tertawa terbahak-bahak.
Seorang perempuan menghampiriku dari pinggir jalan menuju halaman rumah tempat biasa aku menetap secara ilegal.
“Kamu laper? Ini aku ada roti, sini-sini, pus, pus.” Ucapnya sambil jongkok dan mengelus-eluskan tangannya ke dagu bawahku.
“Apa sih! Aku sedang tertawa! Menertawai makhluk-makhluk sepertimu!”
“Makan, nih, makan.” Ia menaruh sepotong roti isi sosis di tanah berharap aku memungut makanan kotor itu. Ia pun pergi, “pus-pus, aku pulang dulu ya, dimakan ya rotinya.” Lanjut perempuan itu.
Cih.
Aku pergi menuju ke rumah tempat orang yang tadi menendangku. Aku bersiap untuk nongkrong di depan pintu agar dapat mengeluskan bulu-buluku pada kaki-kaki yang keluar dari rumah ini, walaupun aku tahu akan ditendang.
Aku menengok ke belakang.
Seonggok roti berisi sosis tergeletak di sana, tak ada yang memperhatikannya. Roti itu seperti oase di tengah gurun yang luas.
Air liurku mengalir deras.
Tapi ...
Tapi ...
Roti itu bekas manusia. Perempuan sialan itu meremehkanku dengan memberiku makanan bekas. Dan dia bahkan menyuruhku makan makanan yang kotor! Aku punya harga diri.
Tapi ...
Tapi ...
Aku lapar. Kaki-kakiku pun berjalan dengan sendirinya ke arah makanan itu.
Tak bisa, aku tak bisa menahan gejolak syahwat yang terus memuncak. Aku sudah lama tidak makan roti sosis.
Ketika aku berjalan beberapa saat. Suara yang aku benci muncul.
“Guk! Guk!”
Ah, ngomong apa sih, dasar anjing.
“Guk! Guk!” Ia mendatangi halaman rumah ini dan mengambil roti sosis yang dari tadi terdiam tak terjamah.
“Rotiku!” Aku berteriak. “Anjing sialan!”
Aku mengejarnya namun ketika aku sampai di depan halaman, aku menubruk sesuatu yang terasa hangat.
“Sakit! Kucing sialan!”
Rasa ini, waktu terasa terhenti dan keheningan memuncak di akal pikiranku. Kehangantan mencuat memenuhi dada. Bulu-bulu halusku menyentuh permukaan lembut kakinya. Hatiku tergetar dan terus memanas.
...
...
Aku ditendangnya. Jauh, jauh sekali. Aku pun terpental ke arah semak-semak di halaman rumah.
Laki-laki yang tadi menendangku berlari ke dalam rumah, seperti biasa.
Dasar manusia sialan, gumamku dalam hati.
Apa sih yang membuat manusia-manusia sialan itu meremehkan makhluk-makhluk sepertiku? Apa mereka merasa bumi adalah milikinya dan selain manusia hanya seperti penghias kehidupan mereka saja?
Cih!
Aku pun keluar dari semak-semak. Cahaya matahari menyinari. Aku berjalan berlawanan dari arah rumah laki-laki yang menendangku dan berjalan sepanjang trotoar. Merenungi kehidupan yang selama ini kujalani.
Aku muak dengan manusia, kalau mereka tak punya kaki-kaki yang lembut aku tak sudi hidup dan menggantungkan hidupku pada sisa-sisa makanan mereka yang bau dan jorok.
“Ibu lihat! Ada kucing kecil lucu!” suara anak kecil, aku mengabaikannya. Suara itu terdengar dari rumah di samping rumah tempat aku biasa tidur.
Apa sih yang manusia pikirkan ketika memberi makanan bekas padaku? Apakah mereka pernah merasakan tulang ayam yang tak ada dagingnya?
“Kasihin ke kucing itu yuk sayang, daripada dibuang.”
Aku pun berhenti tepat di depan pintu masuk halaman anak kecil yang barusan berteriak.
Kepalaku kudongakkan ke atas. Aku menatap langit yang berawan.
“Tuhan! Kenapa engkau tega membiarkan aku makan makanan bekas! Aku sudah lelah hidup bergantung dari manusia. Apa sebenarnya tujuan engkau menciptakanku jika hanya untuk makan dari sisa-sisa manusia sialan?” Aku berkata cukup lantang. Aku rasa mataku sekarang sedikit basah.
“Puss, puss.” Seorang perempuan sepertinya ingin aku menengok kepadanya. “Lempar aja sayang, kasihan dia daritadi meong-meong kayanya lapar”
Tulang ayam beserta sedikit sisa daging pun dilempar kepadaku. Tepat di depan tubuhku.
Aku melahapnya. Aku melahapnya dengan puas sekali.
Sialaaaaan! Kenapa aku malah memakannya?
Ini enak. Ayam ini begitu nikmat walau hanya berupa tulang dan sisa-sisa daging.
Kegalauanku memuncak. Aku berada pada titik di mana idealisasi berlawanan dengan realita kehidupan.
Di satu sisi aku benci manusia dan makanan-makanan bekas mereka yang bau.
Pada sisi lain, aku lapar. Kelaparan membuat akal serta logika menjadi tercampur aduk. Pertanyaan yang selalu terngiang di benakku salah satunya adalah ‘mau makan apa?’
‘Mau mencoba mengejar-ngejar tikus dengan kecepatan lari jauh lebih cepat dari kaki-kaki kecilku?’
‘Atau ingin mencoba peruntungan dengan memakan kecoa yang tersebar di pinggir jalan?’
Ah.
Dilema yang tak kunjung berhenti ini mencuat dan membuat perutku semakin lapar. Aku melahab dan menghabiskan seluruh sisa makanan yang dilemparkan kepadaku.
Aku bergumam tak jelas setelah menghabiskan makanan itu.
“Mah,” ucapnya sambil menarik-narik lengan baju ibunya, “itu meong-nya mau lagi.”
“Yaudah bentar yah, ibu ambil dulu makanan ke dapur.”
Anak kecil itu ditinggal sendirian di sana. Ia berjalan ke arahku.
Entah mengapa, aku pun berjalan mendekatinya. Kita pun berhadapan. Wajah dengan wajah, tubuh dengan tubuh.
“Hei, bocah. Apa sih yang membuat makhluk-makhluk sepertimu tak merasa berdosa ketika memperlakukan makhluk-makhluk sepertiku dengan cara yang tak wajar?” aku bertanya padanya, suaraku cukup keras, aku ingin dia sadar bahwa aku marah.
Ya, aku marah.
Ia hanya tersenyum. Senyum yang polos dengan mata yang berbinar-binar. Aku sadar ia—makhluk sepertinya—tak akan mengerti perkataanku, dan juga perasaanku.
Ia tetap tersenyum. Senyumannya laksana api yang menyala di atas samudra yang luas.
Aku benci itu.
Bocah ini seperti ingin membuat diriku merasa bahagia. Dia tahu apa yang dia lakukan salah, namun dia masa bodo dengan makhluk-makhluk sepertiku. Dia tersenyum hanya ingin membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Agar bocah ini dapat terus memperlakukanku dengan seenaknya. Trik piciknya dengan mudah dapat kuketahui.
Hahaha! Aku tertawa dalam batin.
“Dasar bocah tolol! Aku hanya menyukai kaki-kaki kalian, aku tak sudi diberi makan apalagi diberi senyum serta kehangatan yang sepertinya ingin kau berikan untukku! Kau takkan mudah dapat menipuku! Hahaha!” Aku tertawa terbahak-bahak. Wajahku sangat gembira.
Aku sangat menyukai ketika manusia tak mengerti bahwa omonganku adalah hardikan kepada mereka.
Namun, dia berjalan kearahku dan mengelus-eluskan kaki kanannya kepada bulu-bulu badanku yang halus.
Ahh ...
Kenikmatan ini, aduh ... dasar bocah sialan.
Aku memejamkan mata.
Aku melayang, terjun dari ketinggian yang begitu menjulang. Burung-burung mengicaukan irama kebahagiaan dan memutar-mutari tubuhku. Angin dengan tenang membawaku hingga melintasi samudra, mengantarkanku pada pemandangan pulau-pulau yang begitu indah. Aku merasa dapat dibawa saja kemanapun angin ini pergi. Ke kutub, ke sungai-sungai, bahkan ke suatu pemukiman manusia sekalipun.
Tak apalah, asal kenikmatan ini tetap bersama jiwaku yang begitu kesepian.
Waktu seperti berhenti, entah berapa lama.
Hal ini berlalu hingga suatu saat aku mencium sesuatu yang begitu menggejolakkan batinku.
Aku kembali ke dunia nyata dan membuka kedua mataku.
“Sayang, ini sosis kasihin aja ke meong-nya.” Perempuan itu berkata sambil memberikan sosisnya kepada bocah yang berada di samping kananku. Kakinya telah ia tarik menjauhi bulu-bulu halusku.
“Gak digoreng dulu, Mah?” Ia menatap ibunya yang sekarang jongkok di sebelahnya.
Ibunya tertawa. Lalu mengelus-eluskan tangannya ke bagian belakang kepala bocah itu.
“Kucing gak makan goreng-gorengan, sayang. Kucing makannya mentah. Dia lebih suka sosis itu mentah daripada digoreng. Dia juga gak akan peduli kalau sosisnya digoreng atau mentah. Dia kan cuma kucing.” Jelas ibunya sambil sedikit tertawa.
“Tidak sopan! Emang kau kira apa aku ini! Aku juga suka sosis goreng! Kamu tidak sadar kalau anak polosmu ini akan meniru segala kelakuanmu yang sialan! Pantas saja tadi anak ini berlaku tolol, ternyata ajaran ibunya toh. Hah!” teriakku pada ibu ini. Sepertinya air liurku ada yang menciprati wajahnya. Aku sangat marah.
Anak ini kaget dan tiba-tiba menghadapkan wajahnya ke arahku.
“Aku mengerti.” Anak itu berkata ke arahku dan mengelus-eluskan kakinya ke bulu-bulu halusku.
Aku pun menghampirinya dan mengelus-eluskan bulu-bulu lebatku ke bagian bawah kakinya.
Lembut, rasanya seperti terbang menuju keindahan yang tak terhingga.
Namun, aku ditendang olehnya.
“Pergi! Apa-apaan sih kamu!” Teriaknya sambil menendangku dan menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya kepadaku. Matanya hitam, wajahnya mengerut.
Dasar sialan, aku hanya ingin kakimu. Ucapku dalam hati, aku hanya bisa mengucapkannya dalam hati karena orang sial itu tak pernah mengerti bahasaku.
Dia pun berjalan ke arah taman dan aku pun mengikutinya. Lariku lebih cepat daripada jalannya yang begitu lambat seperti siput yang baru lahir.
Aku tertawa, namun ia tak mengerti bahwa suara yang baru saja aku keluarkan adalah suara tawaku untuknya.
Dia tak sadar aku telah berada tepat di depan kakinya yang terus melangkah.
“Aduh!” dia meringis, aku tertendang.
“Sialan! Pergi kamu! Hush! Hush!” teriaknya lagi padaku, aku tertunduk karena kaget dan takut.
Ya, aku takut. Ia begitu tinggi, begitu besar.
Sedangkan aku, walaupun kakiku dua kali lebih banyak dari kakinya. Tinggiku tak sampai melebihi kakinya yang begitu menjulang.
“Sialan kamu! Mentang-mentang badanku pendek tak seharusnya kamu terus-terusan menendangku! Aku hanya ingin mengelus-elus kakimu,” Aku berteriak sambil menghadapkan wajahku kepada tubuh besarnya.
Aku kesal, ya, aku kesal dengan semua tindakannya yang seperti meremehkanku.
Namun ia malah makin mengencangkan kerutannya dan tetap mengencangkan suaranya kepadaku. Ia tak tahu bahwa aku sangat marah.
“Laper? Mau makan? Sana cari sendiri! Dasar manja! Hush! Hush!” Ia mengibaskan tangannya, memberikan isyarat kepadaku untuk segera pergi.
Aku tak peduli, aku pun mendatangi kakinya untuk mengelus-eluskan badanku padanya.
“Kenikmatan ini, aduuh.” Aku terbuai dalam kenikmatan yang tak ada duanya. Semua ini terasa seperti mimpi, aku terbang menuju langit tanpa batas dan menghilang di bawah sayup-sayup sinar matahari yang mulai redup.
“Pergi!”
Dia menendangku, aku terseret cukup jauh. Dia pun berlari agar aku tak mengejarnya.
“Pergi kamu! Pergi sana! Hahahahaha!” Aku berteriak cukup keras namun tak ada yang menyadarinya, aku sadar itu. Untukku, hal itu bisa jadi sesuatu yang baik maupun sesuatu yang kurang mengenakkan.
Hal baiknya adalah tak akan ada satu pun orang yang sadar bahwa aku sedang menghina mereka. Setiap kali hardikan aku lontarkan kepada mereka, mereka justru malah mendatanginya dan mengelus-elus tubuhku dengan tangan-tangan baunya.
Cih, aku hanya ingin kaki-kaki kalian. Tangan kalian bau, tak suka aku.
Setiap kali mereka mengelus-elus tangannya kepadaku, aku menjilat-jilati bagian tubuhku yang tersentuh berharap agar bau mereka dapat cepat lenyap.
“Hahahaha!” Aku tertawa, aku tertawa terbahak-bahak.
Seorang perempuan menghampiriku dari pinggir jalan menuju halaman rumah tempat biasa aku menetap secara ilegal.
“Kamu laper? Ini aku ada roti, sini-sini, pus, pus.” Ucapnya sambil jongkok dan mengelus-eluskan tangannya ke dagu bawahku.
“Apa sih! Aku sedang tertawa! Menertawai makhluk-makhluk sepertimu!”
“Makan, nih, makan.” Ia menaruh sepotong roti isi sosis di tanah berharap aku memungut makanan kotor itu. Ia pun pergi, “pus-pus, aku pulang dulu ya, dimakan ya rotinya.” Lanjut perempuan itu.
Cih.
Aku pergi menuju ke rumah tempat orang yang tadi menendangku. Aku bersiap untuk nongkrong di depan pintu agar dapat mengeluskan bulu-buluku pada kaki-kaki yang keluar dari rumah ini, walaupun aku tahu akan ditendang.
Aku menengok ke belakang.
Seonggok roti berisi sosis tergeletak di sana, tak ada yang memperhatikannya. Roti itu seperti oase di tengah gurun yang luas.
Air liurku mengalir deras.
Tapi ...
Tapi ...
Roti itu bekas manusia. Perempuan sialan itu meremehkanku dengan memberiku makanan bekas. Dan dia bahkan menyuruhku makan makanan yang kotor! Aku punya harga diri.
Tapi ...
Tapi ...
Aku lapar. Kaki-kakiku pun berjalan dengan sendirinya ke arah makanan itu.
Tak bisa, aku tak bisa menahan gejolak syahwat yang terus memuncak. Aku sudah lama tidak makan roti sosis.
Ketika aku berjalan beberapa saat. Suara yang aku benci muncul.
“Guk! Guk!”
Ah, ngomong apa sih, dasar anjing.
“Guk! Guk!” Ia mendatangi halaman rumah ini dan mengambil roti sosis yang dari tadi terdiam tak terjamah.
“Rotiku!” Aku berteriak. “Anjing sialan!”
Aku mengejarnya namun ketika aku sampai di depan halaman, aku menubruk sesuatu yang terasa hangat.
“Sakit! Kucing sialan!”
Rasa ini, waktu terasa terhenti dan keheningan memuncak di akal pikiranku. Kehangantan mencuat memenuhi dada. Bulu-bulu halusku menyentuh permukaan lembut kakinya. Hatiku tergetar dan terus memanas.
...
...
Aku ditendangnya. Jauh, jauh sekali. Aku pun terpental ke arah semak-semak di halaman rumah.
Laki-laki yang tadi menendangku berlari ke dalam rumah, seperti biasa.
Dasar manusia sialan, gumamku dalam hati.
Apa sih yang membuat manusia-manusia sialan itu meremehkan makhluk-makhluk sepertiku? Apa mereka merasa bumi adalah milikinya dan selain manusia hanya seperti penghias kehidupan mereka saja?
Cih!
Aku pun keluar dari semak-semak. Cahaya matahari menyinari. Aku berjalan berlawanan dari arah rumah laki-laki yang menendangku dan berjalan sepanjang trotoar. Merenungi kehidupan yang selama ini kujalani.
Aku muak dengan manusia, kalau mereka tak punya kaki-kaki yang lembut aku tak sudi hidup dan menggantungkan hidupku pada sisa-sisa makanan mereka yang bau dan jorok.
“Ibu lihat! Ada kucing kecil lucu!” suara anak kecil, aku mengabaikannya. Suara itu terdengar dari rumah di samping rumah tempat aku biasa tidur.
Apa sih yang manusia pikirkan ketika memberi makanan bekas padaku? Apakah mereka pernah merasakan tulang ayam yang tak ada dagingnya?
“Kasihin ke kucing itu yuk sayang, daripada dibuang.”
Aku pun berhenti tepat di depan pintu masuk halaman anak kecil yang barusan berteriak.
Kepalaku kudongakkan ke atas. Aku menatap langit yang berawan.
“Tuhan! Kenapa engkau tega membiarkan aku makan makanan bekas! Aku sudah lelah hidup bergantung dari manusia. Apa sebenarnya tujuan engkau menciptakanku jika hanya untuk makan dari sisa-sisa manusia sialan?” Aku berkata cukup lantang. Aku rasa mataku sekarang sedikit basah.
“Puss, puss.” Seorang perempuan sepertinya ingin aku menengok kepadanya. “Lempar aja sayang, kasihan dia daritadi meong-meong kayanya lapar”
Tulang ayam beserta sedikit sisa daging pun dilempar kepadaku. Tepat di depan tubuhku.
Aku melahapnya. Aku melahapnya dengan puas sekali.
Sialaaaaan! Kenapa aku malah memakannya?
Ini enak. Ayam ini begitu nikmat walau hanya berupa tulang dan sisa-sisa daging.
Kegalauanku memuncak. Aku berada pada titik di mana idealisasi berlawanan dengan realita kehidupan.
Di satu sisi aku benci manusia dan makanan-makanan bekas mereka yang bau.
Pada sisi lain, aku lapar. Kelaparan membuat akal serta logika menjadi tercampur aduk. Pertanyaan yang selalu terngiang di benakku salah satunya adalah ‘mau makan apa?’
‘Mau mencoba mengejar-ngejar tikus dengan kecepatan lari jauh lebih cepat dari kaki-kaki kecilku?’
‘Atau ingin mencoba peruntungan dengan memakan kecoa yang tersebar di pinggir jalan?’
Ah.
Dilema yang tak kunjung berhenti ini mencuat dan membuat perutku semakin lapar. Aku melahab dan menghabiskan seluruh sisa makanan yang dilemparkan kepadaku.
Aku bergumam tak jelas setelah menghabiskan makanan itu.
“Mah,” ucapnya sambil menarik-narik lengan baju ibunya, “itu meong-nya mau lagi.”
“Yaudah bentar yah, ibu ambil dulu makanan ke dapur.”
Anak kecil itu ditinggal sendirian di sana. Ia berjalan ke arahku.
Entah mengapa, aku pun berjalan mendekatinya. Kita pun berhadapan. Wajah dengan wajah, tubuh dengan tubuh.
“Hei, bocah. Apa sih yang membuat makhluk-makhluk sepertimu tak merasa berdosa ketika memperlakukan makhluk-makhluk sepertiku dengan cara yang tak wajar?” aku bertanya padanya, suaraku cukup keras, aku ingin dia sadar bahwa aku marah.
Ya, aku marah.
Ia hanya tersenyum. Senyum yang polos dengan mata yang berbinar-binar. Aku sadar ia—makhluk sepertinya—tak akan mengerti perkataanku, dan juga perasaanku.
Ia tetap tersenyum. Senyumannya laksana api yang menyala di atas samudra yang luas.
Aku benci itu.
Bocah ini seperti ingin membuat diriku merasa bahagia. Dia tahu apa yang dia lakukan salah, namun dia masa bodo dengan makhluk-makhluk sepertiku. Dia tersenyum hanya ingin membuatku merasa nyaman berada di dekatnya. Agar bocah ini dapat terus memperlakukanku dengan seenaknya. Trik piciknya dengan mudah dapat kuketahui.
Hahaha! Aku tertawa dalam batin.
“Dasar bocah tolol! Aku hanya menyukai kaki-kaki kalian, aku tak sudi diberi makan apalagi diberi senyum serta kehangatan yang sepertinya ingin kau berikan untukku! Kau takkan mudah dapat menipuku! Hahaha!” Aku tertawa terbahak-bahak. Wajahku sangat gembira.
Aku sangat menyukai ketika manusia tak mengerti bahwa omonganku adalah hardikan kepada mereka.
Namun, dia berjalan kearahku dan mengelus-eluskan kaki kanannya kepada bulu-bulu badanku yang halus.
Ahh ...
Kenikmatan ini, aduh ... dasar bocah sialan.
Aku memejamkan mata.
Aku melayang, terjun dari ketinggian yang begitu menjulang. Burung-burung mengicaukan irama kebahagiaan dan memutar-mutari tubuhku. Angin dengan tenang membawaku hingga melintasi samudra, mengantarkanku pada pemandangan pulau-pulau yang begitu indah. Aku merasa dapat dibawa saja kemanapun angin ini pergi. Ke kutub, ke sungai-sungai, bahkan ke suatu pemukiman manusia sekalipun.
Tak apalah, asal kenikmatan ini tetap bersama jiwaku yang begitu kesepian.
Waktu seperti berhenti, entah berapa lama.
Hal ini berlalu hingga suatu saat aku mencium sesuatu yang begitu menggejolakkan batinku.
Aku kembali ke dunia nyata dan membuka kedua mataku.
“Sayang, ini sosis kasihin aja ke meong-nya.” Perempuan itu berkata sambil memberikan sosisnya kepada bocah yang berada di samping kananku. Kakinya telah ia tarik menjauhi bulu-bulu halusku.
“Gak digoreng dulu, Mah?” Ia menatap ibunya yang sekarang jongkok di sebelahnya.
Ibunya tertawa. Lalu mengelus-eluskan tangannya ke bagian belakang kepala bocah itu.
“Kucing gak makan goreng-gorengan, sayang. Kucing makannya mentah. Dia lebih suka sosis itu mentah daripada digoreng. Dia juga gak akan peduli kalau sosisnya digoreng atau mentah. Dia kan cuma kucing.” Jelas ibunya sambil sedikit tertawa.
“Tidak sopan! Emang kau kira apa aku ini! Aku juga suka sosis goreng! Kamu tidak sadar kalau anak polosmu ini akan meniru segala kelakuanmu yang sialan! Pantas saja tadi anak ini berlaku tolol, ternyata ajaran ibunya toh. Hah!” teriakku pada ibu ini. Sepertinya air liurku ada yang menciprati wajahnya. Aku sangat marah.
Anak ini kaget dan tiba-tiba menghadapkan wajahnya ke arahku.
“Aku mengerti.” Anak itu berkata ke arahku dan mengelus-eluskan kakinya ke bulu-bulu halusku.