RESENSI FILM | JERMAL |
FILM JERMAL TAK DIHARGAI DI NEGERI SENDIRI |
Pertama kali saya nonton Jermal [1] itu di base-camp Salman Films, awalnya sih bingung juga, tapi setelah melihat fakta bahwa film tidak laku di dalam negeri (kabarnya sih cuma sebentar ada di Blitz Megaplex) saya baru yakin ini film bagus. Sebab di Indonesia itu salah satu indikator film bagus atau tidak adalah dengan melihat jumlah hari pemutaran di bioskop dan jumlah masyarakat yang kenal film itu. [2]
Satu catatan lagi: sampai sekarang saya nggak habis pikir, kenapa film yang bisa menyabet penghargaan The Golden Crow Pheasant Award (best feature film) dan NETPAC Award (best film in the competition section from Asia) di Kerala International Film Festival plus penghargaan sebagai best film di Milan African Film Festival, ternyata cuma dapat… NOMINASI pemeran utama dan tata artistik di FFI 2009? What the f**k! Saya inget banget, juara FFI 2009 di kedua kategori itu adalah film Identitas (Aria Kusumadewa, 2009) yang--oke it’s debatable—buat saya, nggak ada apa-apanya dibanding Jermal.
Menurut saya, Jermal adalah film yang bagus baik dari sisi sinematografi, akting, ataupun cerita. Meskipun secara alurnya termasuk lambat, tapi Jermal adalah salah satu film Indonesia yang aspek sinemanya lengkap, dan itu jarang banget lho!
Secara cerita, film ini sebenarnya “hanya” bercerita tentang hubungan antara ayah dan anaknya yang lama nggak ketemu, dan pertemuan pertama mereka terjadi di atas sebuah Jermal.
Jadi, Johar (Didi Petet), pernah melakukan tindakan kriminal dua belas tahun lalu yang menyebabkan dirinya kabur dan tinggal di jermal. Sementara anaknya, Jaya (Iqbal S. Manurung), baru saja kehilangan ibunya yang meninggal. Kejadian itu membuat Jaya harus pergi ke jermal untuk menemui ayahnya. Itu saja sih, simple kan? Dua orang ketemuan… selesai? Hehe… nggak lah, menurut catatan saya ada tiga hal yang bikin film ini menarik:
Pertama, jelas tentang unsur budaya. Saya memang secara khusus tertarik dengan cerita yang mengangkat budaya Indonesia, apalagi kalau budaya itu ternyata memang belum banyak yang tahu. Dalam film ini, untuk pertama kalinya saya ngeuh bahwa ada benda yang namanya jermal. Yah, mungkin saya memang kampungan, atau mungkin memang keberadaan jermal sendiri jarang diangkat di media manapun. [3]
Jadi, jermal adalah tempat penjaringan ikan yang berdiri di atas tonggak-tonggak di tengah laut. Banyak anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di tempat tersebut. Dari situ saja saya sudah membayangkan betapa banyak konflik yang bisa diangkat dalam cerita. Sekilas sih banyak orang yang berfikir kehidupan di atas jermal pastilah berjalan dengan sungguh lambat. Tidak ada drama dalam kehidupan seperti layaknya kehidupan manusia di tempat lain. Yang ada adalah rutinitas penjaringan ikan. Tapi kalau mau teliti, kita bisa dapat konflik-konflik untuk bahan bikin cerita, misalnya bisa kasus pekerja di bawah umur, rasa rindu pada orang-orang di daratan, atau bahkan yang ekstrim-ekstrim macam: cinta sesama jenis. Hehehe…
Kedua, kebetulan saya memang suka film-film dengan setting tempat sederhana, seperti Burried (Rodrigo Cortés, 2010) atau Phone Booth (Joel Schumacher, 2002). Karen kalau setting-nya simple, minimal beban penonton berkurang, tinggal ngikutin cerita dan ngapalin tokoh-tokohnya saja. Karena toh adegan berlangsung di situ juga kan? Eh, pengecualian buat film Cube (Vincenzo Natali, 1997) sih, yang meskipun setting-nya sederhana, tetapi ceritanya rumit karena genre Cube psychological horror, ada unsur psikologinya yang membuat rumit gitu maksud saya…
Ketiga, akting pemeran utamanya!
Seperti yang kita tahu lah, akting memegang peranan yang penting banget buat sebuah film dan sutradara Jermal jelas berhasil men-direct para pemain di sana untuk tampil maksimal, padahal nyaris nggak ada aktor senior dalam Jermal, kecuali Didi Petet dan Yayu Aw Unru [4]. Tapi tentu catatan terpenting harus dialamatkan oleh “aktor baru dan nggak terkenal” yang punya nama Iqbal S Manurung. Biar nggak saya terus yang berpendapat, ini langsung aja saya copy tulisan dari labirin film tentang dia:
Sebagai seorang aktor di bawah umur, Iqbal menambah keyakinan saya akan sensitivitas tinggi yang dimiliki aktor anak-anak. Di luar negeri, mungkin kita sudah melihat banyak buktinya. Namun, di dalam negeri, masih sangat jarang aktor anak-anak yang kehadirannya kuat saat berakting. Dalam film ini, Iqbal menunjukkan bahwa untuk dianggap bisa berakting bukan berarti harus meluapkan emosi berlebihan seperti layaknya banyak aktor anak-anak lainnya. Satu adegan yang saya suka adalah saat Jaya ditelanjangi oleh anak-anak lainnya. Iqbal menunjukkan emosi Jaya di situ dengan natural. Ada rasa muak, benci, malu, dan amarah yang terlihat dari raut wajah dan matanya.
Dan kalimat itu nggak bercanda. Kalau ada yang nonton filmnya dengan baik, maka mereka akan sadar bahwa betapa wajah Iqbal di awal film masih lembek dan menyedihkan, tetapi di scene-scene akhir film wajahnya berubah jadi keras dan tangguh. Padahal siapapun yang pernah syuting film pasti tahu bahwa yang namanya pengambilan gambar pasti nggak dilakukan berurutan sesuai scene, tapi dilakukan sesuai setting tempat. Karena berat banget kalau harus mindah-mindahin barang setiap ganti scene kan?
Artinya bisa jadi—misalnya—di tempat yang sama, setelah pengambilan scene 15 yang mukanya lembek, berikutnya langsung scene 26 yang mukanya kelihatan keras. Kalau aktornya nggak latihan dulu dan nggak punya bakat akting saya jamin susah mengubah raut wajah hanya alam hitungan menit seperti itu.
Oke, segitu dulu tentang film Jermal, salah satu film hasil duet Rayya Makarim dan Orlow Seunke. Film Indonesia yang nggak dikenal di negeri sendiri. Saya tetap rekomendasikan film ini, silahkan dicari. Saya berani garansi… nggak akan rugi waktu dan—kalau misalnya beli DVD aslinya pun—nggak akan rugi duit deh. [vj]
[1] Dengan judul internasional: Fishing Platform
[2] Beneran lho. Di Indonesia, kalau film bagus pasti di bioskopnya nggak lama, nggak pake bintang porno, dan sedikit orang yang tahu. Kalau film jelek, ya tentu sebaliknya…
[3] Yang sering diangkat media kan kalau nggak skandal artis, paling kasus korupsi, atau partai-partai yang berantem
[4] Om Yayu ini orang keren, dia ngerti banget soal akting tapi nggak maksa ngejar harus punya banyak film! Salut saya sama om Yayu! Beda kelas lah sama aktor kacangan yang aktingnya konyol tapi ngebanggain jumlah film dalam portofolio mereka!
Satu catatan lagi: sampai sekarang saya nggak habis pikir, kenapa film yang bisa menyabet penghargaan The Golden Crow Pheasant Award (best feature film) dan NETPAC Award (best film in the competition section from Asia) di Kerala International Film Festival plus penghargaan sebagai best film di Milan African Film Festival, ternyata cuma dapat… NOMINASI pemeran utama dan tata artistik di FFI 2009? What the f**k! Saya inget banget, juara FFI 2009 di kedua kategori itu adalah film Identitas (Aria Kusumadewa, 2009) yang--oke it’s debatable—buat saya, nggak ada apa-apanya dibanding Jermal.
Menurut saya, Jermal adalah film yang bagus baik dari sisi sinematografi, akting, ataupun cerita. Meskipun secara alurnya termasuk lambat, tapi Jermal adalah salah satu film Indonesia yang aspek sinemanya lengkap, dan itu jarang banget lho!
Secara cerita, film ini sebenarnya “hanya” bercerita tentang hubungan antara ayah dan anaknya yang lama nggak ketemu, dan pertemuan pertama mereka terjadi di atas sebuah Jermal.
Jadi, Johar (Didi Petet), pernah melakukan tindakan kriminal dua belas tahun lalu yang menyebabkan dirinya kabur dan tinggal di jermal. Sementara anaknya, Jaya (Iqbal S. Manurung), baru saja kehilangan ibunya yang meninggal. Kejadian itu membuat Jaya harus pergi ke jermal untuk menemui ayahnya. Itu saja sih, simple kan? Dua orang ketemuan… selesai? Hehe… nggak lah, menurut catatan saya ada tiga hal yang bikin film ini menarik:
Pertama, jelas tentang unsur budaya. Saya memang secara khusus tertarik dengan cerita yang mengangkat budaya Indonesia, apalagi kalau budaya itu ternyata memang belum banyak yang tahu. Dalam film ini, untuk pertama kalinya saya ngeuh bahwa ada benda yang namanya jermal. Yah, mungkin saya memang kampungan, atau mungkin memang keberadaan jermal sendiri jarang diangkat di media manapun. [3]
Jadi, jermal adalah tempat penjaringan ikan yang berdiri di atas tonggak-tonggak di tengah laut. Banyak anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan di tempat tersebut. Dari situ saja saya sudah membayangkan betapa banyak konflik yang bisa diangkat dalam cerita. Sekilas sih banyak orang yang berfikir kehidupan di atas jermal pastilah berjalan dengan sungguh lambat. Tidak ada drama dalam kehidupan seperti layaknya kehidupan manusia di tempat lain. Yang ada adalah rutinitas penjaringan ikan. Tapi kalau mau teliti, kita bisa dapat konflik-konflik untuk bahan bikin cerita, misalnya bisa kasus pekerja di bawah umur, rasa rindu pada orang-orang di daratan, atau bahkan yang ekstrim-ekstrim macam: cinta sesama jenis. Hehehe…
Kedua, kebetulan saya memang suka film-film dengan setting tempat sederhana, seperti Burried (Rodrigo Cortés, 2010) atau Phone Booth (Joel Schumacher, 2002). Karen kalau setting-nya simple, minimal beban penonton berkurang, tinggal ngikutin cerita dan ngapalin tokoh-tokohnya saja. Karena toh adegan berlangsung di situ juga kan? Eh, pengecualian buat film Cube (Vincenzo Natali, 1997) sih, yang meskipun setting-nya sederhana, tetapi ceritanya rumit karena genre Cube psychological horror, ada unsur psikologinya yang membuat rumit gitu maksud saya…
Ketiga, akting pemeran utamanya!
Seperti yang kita tahu lah, akting memegang peranan yang penting banget buat sebuah film dan sutradara Jermal jelas berhasil men-direct para pemain di sana untuk tampil maksimal, padahal nyaris nggak ada aktor senior dalam Jermal, kecuali Didi Petet dan Yayu Aw Unru [4]. Tapi tentu catatan terpenting harus dialamatkan oleh “aktor baru dan nggak terkenal” yang punya nama Iqbal S Manurung. Biar nggak saya terus yang berpendapat, ini langsung aja saya copy tulisan dari labirin film tentang dia:
Sebagai seorang aktor di bawah umur, Iqbal menambah keyakinan saya akan sensitivitas tinggi yang dimiliki aktor anak-anak. Di luar negeri, mungkin kita sudah melihat banyak buktinya. Namun, di dalam negeri, masih sangat jarang aktor anak-anak yang kehadirannya kuat saat berakting. Dalam film ini, Iqbal menunjukkan bahwa untuk dianggap bisa berakting bukan berarti harus meluapkan emosi berlebihan seperti layaknya banyak aktor anak-anak lainnya. Satu adegan yang saya suka adalah saat Jaya ditelanjangi oleh anak-anak lainnya. Iqbal menunjukkan emosi Jaya di situ dengan natural. Ada rasa muak, benci, malu, dan amarah yang terlihat dari raut wajah dan matanya.
Dan kalimat itu nggak bercanda. Kalau ada yang nonton filmnya dengan baik, maka mereka akan sadar bahwa betapa wajah Iqbal di awal film masih lembek dan menyedihkan, tetapi di scene-scene akhir film wajahnya berubah jadi keras dan tangguh. Padahal siapapun yang pernah syuting film pasti tahu bahwa yang namanya pengambilan gambar pasti nggak dilakukan berurutan sesuai scene, tapi dilakukan sesuai setting tempat. Karena berat banget kalau harus mindah-mindahin barang setiap ganti scene kan?
Artinya bisa jadi—misalnya—di tempat yang sama, setelah pengambilan scene 15 yang mukanya lembek, berikutnya langsung scene 26 yang mukanya kelihatan keras. Kalau aktornya nggak latihan dulu dan nggak punya bakat akting saya jamin susah mengubah raut wajah hanya alam hitungan menit seperti itu.
Oke, segitu dulu tentang film Jermal, salah satu film hasil duet Rayya Makarim dan Orlow Seunke. Film Indonesia yang nggak dikenal di negeri sendiri. Saya tetap rekomendasikan film ini, silahkan dicari. Saya berani garansi… nggak akan rugi waktu dan—kalau misalnya beli DVD aslinya pun—nggak akan rugi duit deh. [vj]
[1] Dengan judul internasional: Fishing Platform
[2] Beneran lho. Di Indonesia, kalau film bagus pasti di bioskopnya nggak lama, nggak pake bintang porno, dan sedikit orang yang tahu. Kalau film jelek, ya tentu sebaliknya…
[3] Yang sering diangkat media kan kalau nggak skandal artis, paling kasus korupsi, atau partai-partai yang berantem
[4] Om Yayu ini orang keren, dia ngerti banget soal akting tapi nggak maksa ngejar harus punya banyak film! Salut saya sama om Yayu! Beda kelas lah sama aktor kacangan yang aktingnya konyol tapi ngebanggain jumlah film dalam portofolio mereka!
RESENSI FILM | hope |
mata yang selalu terbuka mencari kebaikan di balik setiap keburukan |
Oleh Aikhalid Nurlatifah
Sutradara: Lee Joon-Ik
Pemain: Sol Kyung-gu, Uhm Ji-won, Lee Re
Durasi: 2 jam
Apakah harapan itu?
Mengapa harapan harus hadir diawali dengan serangkaian panjang ujian yang menyakitkan dan melelahkan?
Kenapa manusia perlu harapan?
So-Won adalah gadis kecil berusia 8 tahun yang baru saja menginjak kelas 2 SD. Ia terlahir sebagai anak tunggal dari ayah seorang pekerja pabrik dan ibu seorang ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya menjaga toko kecil di depan rumah mereka. Berasal dari keluarga kelas menengah-bawah, kedua orang tua So-Won terlalu sibuk untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehingga kurang waktu untuk memperhatikan keperluan dan keselamatan So-Won kecil. Barangkali semuanya tidaklah akan berubah jika satu pagi berhujan So-Won hendak berangkat sekolah tidak bertemu dengan seorang pria pemabuk di jalan yang saat itu lengang ketika hendak pergi ke sekolah, seorang diri.
Satu kejadian di pagi hari yang mengubah hidup So-Won dan keluarganya selamanya. Ia menjadi korban pelecehan sekaligus kekerasan seksual dan diketemukan hampir sekarat kehabisan darah. Usus besarnya harus diangkat, anusnya rusak parah dan harus dibuatkan lubang anus buatan di perutnya.
Selain luka fisik So-Won pun harus mengalami trauma psikologis, ia ketakutan setiap bertemu laki-laki termasuk ayahnya sendiri. Gadis manis yang semula ceria berubah menjadi pemurung dan merasakan dirinya kotor dan tak lagi dicintai.
Kedua orangtuanya harus berjuang keras untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis So-Won sekaligus menuntut keadilan atas kejadian yang menimpa putri sulungnya dari Pengadilan untuk menghukum pelaku seberat-beratnya. Tak sendirian, simpati bahkan empati berdatang dari atasan tempat ayah So-Won bekerja, teman-teman sekelas So-Won berikut guru-guru di sekolahnya bahkan pihak kepolisian pun mendukung So-Won dan keluarganya untuk tetap bertahan dan memperjuangkan keadilan hukum.
Cerita di film ini bergulir dengan sangat mengharukan, bisa dibilang saya tak henti menangis sejak pertama kali menontonnya, dengan opening yang tak berputar-putar didukung acting para pemainnya yang juga natural. Menurut pengakuan sang sutradara sendiri, Lee Jon-Ik, ia mengatakan ingin menampilkan film tentang kebahagiaan yang diawali dengan sebuah tragedi. Sebuah shocking point di awal cerita yang membuat film ini tak membosankan untuk ditonton hingga akhir.
Saya pun merasakan sensasi yang berbeda ketika menonton film bergenre drama-keluarga ini dibandingkan dengan kebanyakan film korea lainnya. Konon selain ingin mengedukasi masyarakat, Lee Joon-Ik meniatkan film buatannya ini sebagai dukungan moril pada Nayoung, tokoh nyata yang menjadi inspirasi film ini dan para korban kejahatan kekerasan seksual lainnya.
Sebagai Negara maju, harus di akui Korea juga telah mengalami perkembangan pula dalam industri perfilmannya, beberapa film lain saya dapatkan pesan kuat dari film-film bertema sejenis macam Silence. Film-film yang mengedukasi publik bagaimana seharusnya kita menyikapi korban-korban kekerasan seksual terutama anak-anak. Mungkin kita punya film Daun Di Atas Bantal karya Garin Nugroho dulu, film yang mengedukasi perlindungan terhadap anak-anak harus diakui masihlah sangat kurang mendapat apresiasi dan tempat baik di kalangan sineas film ataupun masyarakat kita sebagai penonton.
Jika harus membandingkan dengan realita lapangan, masyarakat memang memiliki kecenderungan judgmental pada korban-korban kekerasan seksual, jika pun tidak judgmental mereka masih kurang empati. Bahkan menjadikan cerita tragis semacam ini sebagai bahan ceritaan yang hampa dari pemaknaan dan perbaikan bersama. Padahal predator, para pelaku kejahatan seksual ini, sangat mungkin hadir di tengah keluarga kita sendiri. Apa yang salah?
Mungkin menyalahkan masyarakat kebanyakan yang memang masih awam dan tumpul rasa empatinya akan menjadi terlalu melelahkan, seperti Psikiatris Joong-Sook yang akhirnya tergerak untuk membantu pemulihan psikologis So-Won dan korban kekerasan seksual lainnya, seperti sang sutradara sendiri yang meniatkan karyanya sebagai edukasi public tentang memaknai lagi kebersamaan dan saling empati di komunitas masyarakat, atau jika harus dicontohkan dari tanah air kita pun mulai banyak tokoh-tokoh penggerak yang menyadarkan masyarakat tentang perlunya pengawasan pada anak-anak kita dari setiap predator yang akan membahayakan masa depan mereka.
Jadi apakah harapan itu?
Jika harus saya maknai, harapan bukan persoalan pelangi yang warna warni yang akan hadir di balik badai, tapi persoalan mata kita yang masih ingin tetap terbuka dan melihat sisi baik dari setiap gulir kejadian yang diberikan kehidupan. Harapan itu tumbuh seperti mata kita yang ingin melihat hari-hari berisi kebaikan yang bisa jadi di sana tak ada pelangi, namun hanya awan cerah tempat sinar matahari masih bisa terlihat terang setelah badai yang kelam.
Memaknai harapan setelah badai juga barangkali menjadi jalan kembali kita pada Pemberi Kehidupan, seperti Musa yang bertanya di manakah ia bisa menanyakan Tuhan? Tuhan menjawab ia berada di antara orang-orang yang hancur harinya. Orang-orang yang telah jungkir balik menghadapi ujian hidupnya namun masih memupuk sebiji harapan.
Sebagai penutup, mungkin bisa direnungkan kata-kata yang saya catut dari bingkai yang terpajang di ruangan bayi adik So-Won di film ini:
Orang kesepian adalah orang paling baik
Orang yang bersedih senyumnya paling cerah
Karena mereka tidak mau orang lain merasakan sakit yang sama
Pemain: Sol Kyung-gu, Uhm Ji-won, Lee Re
Durasi: 2 jam
Apakah harapan itu?
Mengapa harapan harus hadir diawali dengan serangkaian panjang ujian yang menyakitkan dan melelahkan?
Kenapa manusia perlu harapan?
So-Won adalah gadis kecil berusia 8 tahun yang baru saja menginjak kelas 2 SD. Ia terlahir sebagai anak tunggal dari ayah seorang pekerja pabrik dan ibu seorang ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya menjaga toko kecil di depan rumah mereka. Berasal dari keluarga kelas menengah-bawah, kedua orang tua So-Won terlalu sibuk untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehingga kurang waktu untuk memperhatikan keperluan dan keselamatan So-Won kecil. Barangkali semuanya tidaklah akan berubah jika satu pagi berhujan So-Won hendak berangkat sekolah tidak bertemu dengan seorang pria pemabuk di jalan yang saat itu lengang ketika hendak pergi ke sekolah, seorang diri.
Satu kejadian di pagi hari yang mengubah hidup So-Won dan keluarganya selamanya. Ia menjadi korban pelecehan sekaligus kekerasan seksual dan diketemukan hampir sekarat kehabisan darah. Usus besarnya harus diangkat, anusnya rusak parah dan harus dibuatkan lubang anus buatan di perutnya.
Selain luka fisik So-Won pun harus mengalami trauma psikologis, ia ketakutan setiap bertemu laki-laki termasuk ayahnya sendiri. Gadis manis yang semula ceria berubah menjadi pemurung dan merasakan dirinya kotor dan tak lagi dicintai.
Kedua orangtuanya harus berjuang keras untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis So-Won sekaligus menuntut keadilan atas kejadian yang menimpa putri sulungnya dari Pengadilan untuk menghukum pelaku seberat-beratnya. Tak sendirian, simpati bahkan empati berdatang dari atasan tempat ayah So-Won bekerja, teman-teman sekelas So-Won berikut guru-guru di sekolahnya bahkan pihak kepolisian pun mendukung So-Won dan keluarganya untuk tetap bertahan dan memperjuangkan keadilan hukum.
Cerita di film ini bergulir dengan sangat mengharukan, bisa dibilang saya tak henti menangis sejak pertama kali menontonnya, dengan opening yang tak berputar-putar didukung acting para pemainnya yang juga natural. Menurut pengakuan sang sutradara sendiri, Lee Jon-Ik, ia mengatakan ingin menampilkan film tentang kebahagiaan yang diawali dengan sebuah tragedi. Sebuah shocking point di awal cerita yang membuat film ini tak membosankan untuk ditonton hingga akhir.
Saya pun merasakan sensasi yang berbeda ketika menonton film bergenre drama-keluarga ini dibandingkan dengan kebanyakan film korea lainnya. Konon selain ingin mengedukasi masyarakat, Lee Joon-Ik meniatkan film buatannya ini sebagai dukungan moril pada Nayoung, tokoh nyata yang menjadi inspirasi film ini dan para korban kejahatan kekerasan seksual lainnya.
Sebagai Negara maju, harus di akui Korea juga telah mengalami perkembangan pula dalam industri perfilmannya, beberapa film lain saya dapatkan pesan kuat dari film-film bertema sejenis macam Silence. Film-film yang mengedukasi publik bagaimana seharusnya kita menyikapi korban-korban kekerasan seksual terutama anak-anak. Mungkin kita punya film Daun Di Atas Bantal karya Garin Nugroho dulu, film yang mengedukasi perlindungan terhadap anak-anak harus diakui masihlah sangat kurang mendapat apresiasi dan tempat baik di kalangan sineas film ataupun masyarakat kita sebagai penonton.
Jika harus membandingkan dengan realita lapangan, masyarakat memang memiliki kecenderungan judgmental pada korban-korban kekerasan seksual, jika pun tidak judgmental mereka masih kurang empati. Bahkan menjadikan cerita tragis semacam ini sebagai bahan ceritaan yang hampa dari pemaknaan dan perbaikan bersama. Padahal predator, para pelaku kejahatan seksual ini, sangat mungkin hadir di tengah keluarga kita sendiri. Apa yang salah?
Mungkin menyalahkan masyarakat kebanyakan yang memang masih awam dan tumpul rasa empatinya akan menjadi terlalu melelahkan, seperti Psikiatris Joong-Sook yang akhirnya tergerak untuk membantu pemulihan psikologis So-Won dan korban kekerasan seksual lainnya, seperti sang sutradara sendiri yang meniatkan karyanya sebagai edukasi public tentang memaknai lagi kebersamaan dan saling empati di komunitas masyarakat, atau jika harus dicontohkan dari tanah air kita pun mulai banyak tokoh-tokoh penggerak yang menyadarkan masyarakat tentang perlunya pengawasan pada anak-anak kita dari setiap predator yang akan membahayakan masa depan mereka.
Jadi apakah harapan itu?
Jika harus saya maknai, harapan bukan persoalan pelangi yang warna warni yang akan hadir di balik badai, tapi persoalan mata kita yang masih ingin tetap terbuka dan melihat sisi baik dari setiap gulir kejadian yang diberikan kehidupan. Harapan itu tumbuh seperti mata kita yang ingin melihat hari-hari berisi kebaikan yang bisa jadi di sana tak ada pelangi, namun hanya awan cerah tempat sinar matahari masih bisa terlihat terang setelah badai yang kelam.
Memaknai harapan setelah badai juga barangkali menjadi jalan kembali kita pada Pemberi Kehidupan, seperti Musa yang bertanya di manakah ia bisa menanyakan Tuhan? Tuhan menjawab ia berada di antara orang-orang yang hancur harinya. Orang-orang yang telah jungkir balik menghadapi ujian hidupnya namun masih memupuk sebiji harapan.
Sebagai penutup, mungkin bisa direnungkan kata-kata yang saya catut dari bingkai yang terpajang di ruangan bayi adik So-Won di film ini:
Orang kesepian adalah orang paling baik
Orang yang bersedih senyumnya paling cerah
Karena mereka tidak mau orang lain merasakan sakit yang sama
Orang kesepian adalah orang paling baik
Orang yanng bersedih senyumnya paling cerah
Karena mereka tidak mau orang lain merasakan sakit yang sama